Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Nusa Tenggara Barat. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Minggu, 14 Oktober 2007

Suarta Bagiada


Suarta Bagiada
(Mataram)

Lahir di Mataram 1 Mei 1958. Pegiat sastra yang menetap di Tanjung Lombok Barat ini telah banyak melahirkan puisi-puisi pada decade tahun 1980 an. Puisinya pernah dimuat di Koran Simponi, Swadesi, Bali post, Karya Bhakti dllnya. Pernah berantologi, diantaranya : Antologi daun-daun menghijau. Pernah suatu ketika puisinya diapresiasi oleh Faksas Undip, Semarang. Selajnutnya digelar di Koran manunggal. Perintis Sanggar sastra Anjani ini sekarang sebagai pemimpin Redaksi Buletin Prestasi dan Penilik pada Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Lombok barat. Dalam antologi ini memuat puisi:

Kera-Kera Wana Pusuk

Kera-kera wana pusuk duduk termenung di tepian jalan lengkung
Lenguh hatinya; “tembangkan sorak kemarau”
Digemeretak kayu perdu tumbang;
“gaung pilu yang menimpa!”
menggoyang bibir jalan berliku.
ketika pohon kekar nan angker
musnah sudah oleh gergaji zaman,
terbayang ranum buah-buah rimba
diperebutkan kawan-kawan, dalam helaan keakraban
Kera-kera wana pusuk
Kini mengeja deru mesin laju
Berharap lemparan ramah kue basi
Yang melintas,
Dan peduli.

Catatan jalan berliku-pusuk
Suarta-05

Sindu Putra


Sindu Putra
(Mataram)

Dilahirkan di Bali, 31 Juji 1968. Belajar menulis sejak di bangku SMP (1982) , mula-mula sajaknya dimuat di Bali Post Minggu (1982), kemudian dimuat di media terbitan Bali, Jogyakarta dan Jakarta di antaranya : Nusatenggara, Minggu Pagi, Merdeka Minggu, Hai, Bentara Kompas, Tempo, Media Indonesia, Jurnal Cak, Jurnal Puisi dan Kalam. Dalam anotogi antara lain : Perjalanan (SMK, 1990), Batu Beramal (HP3N Batu,1994), Bunga Rampai Puisi Bali (1996), dan Bali The Morning After (1999). Buku puisinya Kemah Malam Burung Malam (Pojok Sanur Interprise (2000), Rumah Ilalang (bersama IAO Suwati Sideman ,2003). Pernah diundang dalam Winternachten Overzee di Jogyakarta (2001), baca puisi pada Ubud Writers & Readers Festival, Bali 2004) Pada tahun 2005 pernah memenangkan Cisadane Award (Dewan Kesenian Tangerang). Salah satu puisinya :

Terrarosa Tanah Lombok

di Senggigi kamis 17.01 WITA
orang asing itu Eureka menyeka muka

wajah kulit putih Eropanya serupa topeng kayu Labuapi
matanya dari mutiara, kaki-tangannya dari bambu, badannya
dari tanah liat

hujan hutan tropis membakarnya. abunya menjelma puyuh
burung lapar dari arah ashar
terbang ke Sekotong mencari ombak setinggi ufuk
menyelam ke Gili-gili sedalam lubang hitam
singgah sebentar ke Bali, unutk mengukir tanduk jadi bentuk phallus
hingga akhirnya tidur lelap kelelahan di Tanjung Ujunglangit
igaunya : but, I’m not come from America ?!

lelaki itu menatapku di Mataram pukul 14.24
pandangannya mengarah agak ke bawah,
bermuka masam kurus berdiri sedekap
lelaki kuda itu: mata melotot lidah terjulur taring mencuat
lelaki kuda musim dingin
di Lombok. bintang padam
tanah hijau muda dengan garis-garis merah ludah serangga

Ini kesepian, ujarnya
dalam badanku yang telanjang terdapat jiwamu yang telanjang
dihukum seumur hidup melafalkan nama Tuhan
Yang Maha Duka Yang Maha Dukana
Kesepian itu, katanya lagi, kekuasaan tanpa tahta
aku telah memberinya tahta dengan meminang hari tua
aku pilih jalan yang tak pernah ditempuh orang lain
tanpa perempuan menjaga mercusuar
akulah lelaki sejati
meski tanpa seorang perempuan pun pernah membuktikannya

Putu Sugih Arta


Putu Sugih Arta
(Mataram)

Putu Sugih Arta (38 Tahun), penyair, cerpenis dan novelis asal Mataram – NTB. Pernah juara Penulisan Puisi Modern Berbahasa Bali (1999), Pemenang Sayembara Penulisan Naskah Fiksi Pusat Perbukuan Nasional Jakarta (2004), 8 cerita pendek (2004), Antologi Puisi Dian Sastro For President End Of Trilogy (2005), 11 Kumpulan Cerita Pendek (2005), bersama penyair NTB dalam Antologi Puisi Menimba Air Mata Aceh (2005), Antologi Penyair NTB: Suara Gumi Langit (2005). Novel: Misteri Halimun di Puncak Rinjani (2005). Akhit tahun 2005, telah menyelesaikan jenjang Magister Manajemen di Universitas Mataram. Salah satu puisi:

Mulat Sarira, Antara Galungan dan Kuningan

tiga titik tiga sasaran
sadar ke tiadasadaran dan takdir
ada yang keliru dalam diri kita
terpuruk ke tiadasadaran jimbaran vs kuta
untaian manik pengorbanan di atas altar kematian
merajut untuk ke sekiankali mutiara ditelusuk jarum
berumbai benang merah, hitam dan putih
jimbaran dan kuta
rimba manusia bersetubuh dengan raksasa rau
pada paras eloknya yang mengintip tirta kehidupan
kureguk demi nikmatku
putaran cakra wisnu membakar sadar
jiwa-jiwa primitif menyatu dengan alam
melupakan akar kodrati
tiga titik harmoni, cipta semesta manusia
tiga sudut ketenangan
lahir, tumbuh dan berkembang
tiga angkara hadir menunggu
menit, detik sebelum dan sesudah ketegangan
menyeruak perlahan rembulan bulat 210 hari
menjelang galungan tiba
mereka datang
dikebumikan dalam lubuk terdalam
hati kita

10 Oktober 2005


KOMA

-untuk Yuke Ardhiati.
semesta seberang makna
Abimanyu
:ruang kalbu di batas tiga
udara, air dan flora. Mimpi
berlabuh pada biduk hatiku
saat-saat kuingat engkau hanya pagar bisu.Tanya
dunia kaubeda, merebaklah senyum
adakah pengakuan itu pada kisi kisi hatimu?
mawar merah campaka putih
atau…

Ksiti Sundari
:kujawab sudah lelaki itu sosok gaib yang membeku
batu karang yang keras
tak mungkin kugusur sepeluk gunung
masih ada harapan
di liuk senyumnya yang aneh
menggurat makna
antara ribuan kata akibat di antara sebab
duhai, siluet malam
Abimanyu
:rikanang gunung udaya runggu katon
ya matang nyanunggu rikanang udaya
humeneng pwa mengep ageleng ya malok
tarunatidarppa ya manantwa mangol
masiwo saraga ya sedeng pada sih
ri lara nirang Raghusutar papasah
mari yar wulat ringanginum masiwo
humini ta luh nira nirantara ya
( sekedip mata bulan pun meninggi. Bertengger di puncak
si wanita berpaling, namun lelaki di depannya mendekap.Mesra
Hanuman tersentuh, terkenang Sang Rama terpisah dari Sinta
airmata tiada putus-putus )
Utari
:tiada pernah kutahu janji mendobrak lentera
kelir terbakar. Wayang
menengadah tiada daya
lahir kelahiran
mati kematian
kematian lahir
tembok karang Arjuna sebabnya
maafkan aku
Ksiti Sundari
dedalane guna lawan sekti
kudu andhap asor
wani ngalah dhuwur wekasane
tumungkula yen dipun dukani
bapang den simpangi
ana catur mungkur
(petunjuk jalan yang berguna dan sakti
seyogyanya rendah hati
berani mengalah untuk mencapai tujuan yang bijak
menundukkan muka andaikata ditegur
tindakan tiada terpuji, hindari
andai ada orang sedang berbicara sebaiknya permisi)

Mataram, 3 Mei 2007

Putu Arya Tirtawirya


Putu Arya Tirtawirya
(Mataram)

Lahir di Mataram, 10 Mei 1940. Selain puisi ia aktif pula penulisan cerpen, novelet, esei dan kritiksastra. Pun artikel- artikel jurnalistik. Buah karyanya selama ini sudah di bukukan dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, Pustaka Jaya, Gunung Mulia, Nusa Indah, Yayasan Dewi Saraswati Mataram serta dalam sejumlah buku antologi cerpen maupun puisi yang terbit di tanah air. Buku himpunan sajak secara mandiri : Sajak-Sajak Kontemplatif (2000), Tiga Dimensi (2003). Berangkat dari karakternya yang extrovert ia aktif mengembangkan Apresiasi Sastra dengan mendirikan Sanggar Sastra dan Seni Mataram (1980), Himpunan Penulis Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N) pada tahun 1985-suatu gebrakan positif yang berhasil mewujudkan hadirnya puluhan bulletin sastra kordinat di tanahair berkat sifat organisasi yang informal yang cendrung ke warna peguyuban dimana para sastrawan muda saling asah-asih-asuh. Saling barteklipping rublik sastra terbitan daerah masing-masing dan menjalin korespondensi. Ia sempat pula beberapa tahun yang lalu menerbirkan majalah sastra PUISI (Pusaran Informasi Sastra Indonesia) di Mataram, walaupun majalah tersebut hanya bertahan sampai lima edisi. Salah satu puisinya :

Maya

Kau bilang eksistensialisme :
dari tiada
tidak kemana
Aku bilang maya :
dari lampau
ke moksha
Kau bilang absurd
Aku bilang abstrak
sebab maya itu fatamorgana
di padang egoisme
(Ego adalah sang rantai
belenggu masa lampau – kini – esok
dalam kehidupan.)
Kau bilang demi iptek
Aku bilang demi intuisi :
tetes-tetes kemahaanNya
yang rembes ke sanubari
berkat retasnya rantai.

**

Iao Suwati S.


Iao Suwati S.
(Mataram)

Dilahirkan di Denpasar, 11 Oktober 1969. Menempuh pasca sarjana pada International Master Programme IJseland, Deventer, Belanda. Sekarang sebagai staf edukatif pada Fakultas Teknik Universitas Mataram. Puisinya memenangi Minum Kopi Award tahun 1992. Puisinya terhimpun dalam antologi Kulkul (SMK,1992), Rumah Ilalang (2003). Tulisannya yang lain pernah mendapat penghargaan (Pemenang II) dari konsulat Australia dalam lomba karya tulis kreatif di Bali (1991). Puisi-puisinya pernah dimuat di media : Bali Post, Media Indonesia dan Koran Tempo. Salah satu puisi nya :

Drestarasta, Engkaukah Itu

kaukah itu
lelaki buta
yang menyamarkan kedukaan mata
dengan memejam sepanjang perkawinan ini

pernah kau bayangkan
seperti apakah keheningan
sehabis menguburkan
seratus anak kita
yang terkalahkan
dalam separuh umur matahari

masih hangat darah
yang mengental
di sari perempuanku

aku masih mencium wangi doaku
saat kemenangan
masih ditawarkan

tapi bulan terlalu cepat lahir
aku belum lagi puas membaca gemilang khayalku
aku belum lagi puas menghitung suka cita siasatku
aku belum lagi puas menelanjangi kisah lontar

aku belum lagi puas
kaukah itu
lelaki buta
yang menyamarkan
kedukaan mata

dengan memejam sepanjang perkawinan ini

kaukah itu

H.Dinullah Rayes


H. Dinullah Rayes
(Sumbawa)

Lahir tahun 1939 di desa Kalabeso kecatan Alas, kabupaten Sumbawa NTB.Tulisannya tersebar di media massa antara lain : Dewan Sastra Malaysia, Bahana Bruei Darussalam, Horison, Abadi, Pelita, Suara Karya, dan lain – lain. Karyanya terhimpun antara lain : Puisi-Puisi (1974), Anak Kecil Bunga Rumputan dan Capung Ramping (1975), Hari Ulang Tahun (1980), Kristal-Kristal (1982), Pendopo Taman Siswa (1982), Angin Senja (1983), Nyanyian Kecil (1985), Peta Lintas Batas (1985), Antologi Puisi Asean (1983), Pendakian (1986), Sosok (1986), Dari Negeri Puci 2 (1994), Buka Daun Jendela itu (1995), Sajak - Sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia
Merdeka (1995), Dari Negeri Puci 3 (1996), Resonansi Indonesia (2000), antologi Puisi Indonesia – Malaysia (2000), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (2001), Damai Dalam Badai (2005), Duka Aceh Luka Kita (2005), Bumi Ini adalah Kita Jua (2005). Penyair yang Ketua Umum Lembaga Adat Tana Samawa (Kabupaten Sumbawa) agaknya hingga akhir hayatnya tetap kreatif dalam sastra, sebuah dunia yang paling dicintainya. Pernah menerima Piagam Hadiah Seni, Lencana dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Salah satu puisinya :

Teluk Yotefa
Buat : J.P.Salossa Gubernur Papua yang pergi tiada kembali lagi

Buih-buih merebut pantai
otak –otak bening itu pecah usai berkisah
kawanan ombak pun lari ke pusat segera
mencari anak-anak buih yang lepas kasih bunda

Teluk Yotefa
tempat bulan berdandan
malam hari
tempat mentari menari
siang hari
Tanganku memungut kulit lokan
untaian mutiara sejarah anak Papua
kita :
bagai bumi dan pepohonan
seperti nyawa dan badan

Teluk Yotefa
ombak dan pasir pantai
senantiasa bercumbu
dalam kalbu
anak negeri berkulit sawo matang
yang hitam kelabu

Jayapura, 24 Dese 2005

Esti Ebhi Evolisa


Esti Ebhi Evolisa
(Mataram)

Lahir di Blitar, 20 Agustus 1966. Pekerjaan : Pegawai Kantor Taman Budaya Prov.NTB. Sutradara Pameran Instalasi Kolaborasi Gerak Bayang Warna Nada (2003). Salah satu puisinya :

Sajak Buat “d”

Ketika malam berteman sepi
aku terbuai dalam khayal rindu bertemu,
hanya dalam kalbu duniamu jadi impianku
impianku jadi suara hatiku
angan melayang laksana kupu
hinggap pada kelopak bunga yang sedang mekar tumbuh,
bersiul terbawa angin segar di persimpangan jalan
padamukah kunanti setitik harapan?