Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Nusa Tenggara Barat. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Rabu, 11 Agustus 2010

Kiki Sulistyo


Lahir di Ampenan, Lombok Barat 16 Januari 1978. Menulis puisi, cerpen, naskah pertunjukan, esai dan reportase. Karya-karyanya tersiar di sejumlah media seperti Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Majalah Gong, Batam Pos, Analisa, Global, Pos Metro, Jambi Independent, Sijori Mandiri, Buletin Pawon, Lombok Post, Kilas, Majalah Risalah Seni, Buletin Sastragraha. Juga termaktub dalam antologi Simpang Lima (2009). Bergiat di Komunitas Akarpohon dan mengelola Jurnal Replika.
E-Mail : kiki_sulistyo@yahoo.com
HP: 0878 6585 7383

Puisinya antara lain :


Jalan Itu

jalan itu, tempat aku hindari keramaian
dan segarit sayap membuatnya lebih senyap
rambutmu berjatuhan di atas aspalnya
dan kupungut satu-satu seakan menemu
kata-kata yang lelah diburu

jalan itu, tempat aku hindari pertemuan
dan sepenggal ranting membuatnya lebih hening
namamu terpacak di tiap tiang
kubaca pelan-pelan seakan mengeja
rahasia yang tertimbun sekian lama

tiap aku mengunjunginya
jalan itu semakin panjang
dari sana aku berangkat sekalian pulang
aku pergi sekaligus kembali

jalan itu, tempat aku hindari ingatan
dan sebuah cinta membuatnya lebih baka

Mataram, 2009


Dalang Rus

aku menghormat setinggi itu
pada yang memahami rahasia bayang-bayang
menapak setindak demi setindak
tangga cahaya
hingga sampai pada hening
paling bening

dunia adalah sebuah rumah kecil
dengan lampu redup berkedip-kedip
dan aku ingin sekali berkemah di luarnya
melupakan kecemasan
dengan sisa-sisa nostalgia
menyala di kepala

tuan, dengan pakaian apa
mesti kumasuki ruang petang
dimana kelir membentang
dan tak ada apapun juga
kecuali wayang
kecuali bayang-bayang ?

aku menghormat setinggi itu
pada yang memahami rahasia bayang-bayang
sebab setelah semuanya
nyatalah
aku hanya pemburu makna
yang tak pernah sampai kemana-mana
semakin aku memburu
semakin aku debu

Mataram, Februari 2009


Gadis Pita Ungu

surat itu, katanya, tak bicara masa lalu
tato mawar pada punggungnya itu

kemarin tukang kayu telah melihatnya
dan hari ini seorang pastor
barangkali senja
telah meracun mata mereka
sehingga bertingkah seperti remaja

aku sendiri mengingatnya sebagai seseorang
yang sering berdansa di pertengahan malam
pada awal tahun
- tak memintanya, sedikitpun
menaruh surat di laci kelas

entah besok, siapa lagi akan melihatnya
seraya berdoa dalam gemetar
mungkin pak guru
yang pernah mengusirnya karena heran
kegemarannya menangkap belalang

surat itu, katanya, pengakuan singkat
sebelum bunuh diri, sebelum sebuah jerat

aku berusaha mencium pipinya, ketika itu


Berlayar

akan berlayar kemana cahaya yang menyerta
jalan kita?

ketapang gugur daun di malam terkelam
pungguk memandang hampa
bundar bulan

aku terpanah
seperti juga kau
dan busur itu masih bergetar
saat darahmu membasah tanah
dan tubuhku rebah di lembah

aku dengar lolongmu
seperti kau dengar jeritku
saat pungguk terbang
dan bulan bundar
terbungkus selimut arang

sesungguhnya, saat gelap berlayar
telah kusebut namamu
seperti kau sebut namaku

2009



Sayap Kaca
bagi Desi Citra Nirmala

serupa kristal pagi
terbaring di kuntum melati
kutemukan rahasia pertapa
saat tubuh dijerat rimbun belukar

setiap saat kutemui taman liar itu
bersandar di gelap batu
seperti beribadah pada kesabaran
menjangkau firdaus di langit terjauh

dan kupilih waktu-waktuku sebagai pertapa
menghindar dari keramaian
bersila dalam sasmita menemu paripurna
manakala sayap-sayap kaca

memecah di udara

2009

Resital Burung

mulanya dua ekor burung
hinggap di tanah yang murung
sebelum reda suara-suara
dan butir kusam bergulung di udara

lalu kosong, seperti rasa
pagi kadang membuat perangkapnya sendiri
di hadapan kaca, di hadapan mata
dengan ingatan akan surat-surat lama

jalan baru di depan pagar
seseorang melintas di sana dengan sepeda
terus menerus melambai, gaunnya berkibar
senyumnya sehangat roti bakar

dua ekor burung kehilangan langitnya
di tanah yang murung,
aku kehilangan ingatan tentang seluruh kejadian

kecuali tentang seseorang bersepeda
di jalan baru
kecuali tentangmu

Mataram, 2009


Melankolia Pagi

ada kesenangan yang ganjil
melihat lipatan-lipatan pada sprei
sepasang sandal di depan pintu
dan lampu beranda yang lupa dimatikan

pagi, aku berharap masih ada sisa bulan
sebelum aku memilih berjalan ke barat
dengan sangat lambat
melewati taman kota yang tak pernah usai
menyusun kemurungan

aku menunggu, terus menunggu
aku bergelung memeluk kehampaan
membayangkan apapun yang tak pernah
singgah di pikiranmu

dengan sederhana
semua kenangan kusimpan dalam saku
pagi yang sendu menjadi kawan yang cepat karib
tanpa berita kehilangan

dan tak pula pesan-pesan tiba
kubiarkan pintu terbuka
kubiarkan lampu beranda menyala
tak kurapikan sisa-sisa nostalgia

sepanjang trotoar berkabut
langkah-langkahku semakin lambat
semakin lambat…..

2009


Kontemplasi Kamar

kecup mataku dengan matamu yang pelan-pelan mengabu
di kamar ini aku tak tahu
siapa membunuh siapa
kau lihat almari telah kosong dari pakaian
dan kenangan
sedang semakin sesak dada ketika tak ada
antara kita hendak melupa dusta

2009