Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Nusa Tenggara Barat. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Sabtu, 18 Desember 2010

Imam Safwan


Lahir di Pemenang, Lombok Utara 12 April 1978. Menyelesaikan studi di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Mataram. Selain menulis puisi dan naskah drama juga aktif sebagai aktor, sutradara dan pendiri Teater NoL ( North Of Lombok ), juga gemar menyanyi, membuat film dan dikenal luas sebagai pakar bonsai. Karyanya termaktub dalam antologi Panggung Zaman ( Taman Budaya NTB, 2008 ) dan Simpang Lima ( 2009). Sehari-hari bekerja sebagai pengajar.


Kumbang Tak Bersayap

Kau
Tebarkan potongan bunga mawar
Pada kumbang tak bersayap

Ketika embun meniti rumputan
Kau berdiri
bagai matahari
Entahlah
Embun tak kuat mendekap

Mataram, 12 April 2005


Cinta Kilatan Neraka

Terkulai aku
di antara kelangkanganmu
Mengayuh limbah keringat
menjadi madu rindu
dan aku terkekang .

Ku cium aroma tubuhmu
Bersama merebut surga
Di ujung kilatan neraka

Di tubuhku
kau ingin berdayung

Samudra kita gelombang magma
Yang meletup tiap jengkalnya
Karna cinta dan nafsu
Membatu dan
Di ujung kilatan kita bercinta

Tanjung, 12 Mei 2005


Rindu Bayang

Apakah salah jika ku rindukan bayang
mengumpulkan tetes-tetes embun
menjadi seteguk minuman

Sudah ku baca esokku
akan lelah mencumbu
Ku coba bentangkan tangan
pada bukit yang tinggi
terlena oleh angin
O,
Merayap gemetarku
Dituding cakrawala.

Rabu,11 Mei 2005


Dari Film Titanic

Ros menangis
melepas tangan Jack
malam itu.

Dengan wajah es
Jack meminjam mulut laut :
Aku tidak sendiri
kapal Titanic bersamaku
berikut nahkoda dan sebagian besar penumpangnya ,
jangan khawatir
aku sudah membawa lukisan
dan hatimu untuk ku ajak bicara.

Kota-kota menjadi hitam putih,
kadang hilang kadang muncul ,
tak mampu mengikuti matahari
yang terlalu tergesa-gesa,

dengan meminjam mulut laut Jack bicara:
aku akan kembali
menjadi sesuatu yang berarti
membuatmu lupa dan terlena
tapi disitu aku ada.

dilari matahari
di sebuah restoran sea food
Ros yang berkalungkan mutiara
bercengkrama bersama Jack
tesenyum dan tertawa

dengan meminjam mulut kerang dan ikan Jack bicara:
ini bentuk cinta ku yang abadi.

Tanjung,11 Desember 2005.

Minggu, 31 Oktober 2010

Tjak S. Parlan


Lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Alumni Jurusan Ilmu Administrasi Universitas Muhammadiyah, Mataram. Menulis puisi, cerpen dan resensi di sejumlah media cetak lokal, juga dalam antologi komunal seperti Tonggak ( Taman Budaya NTB, 2005 ) dan Simpang Lima ( 2009 ). Bersama seorang teman menulis kumpulan cerpen Ajarkan aku mencintai dengan tangan ( Lontar Kata, 2001 ). Sehari-hari bekerja sebagai perajin tata letak dan anggota dewan redaksi jurnal Replika. Hingga kini, betah menetap di Mataram, NTB.

Sejarah Rindu dan Api

sebab ada malam
bintangbintang ditaburkan
dan kunangkunang dihidupkan

sebab ada dingin
tungkutungku dinyalakan
dan api memberkati cahaya

sebab ada rindu
maka bintangbintang
dan kunangkunang
menetaskan roman dalam buku

sebab yang gelap rindu api
yang terang rindu remang
yang rindu ingin bertemu
maka api segera membakar tubuhmu

Mataram, 2009


Ia, yang kukira bertapa

ia, yang kukira bertapa
berayun cangkul dari tangannya
sekuakan bagi benih yang terpilih
dari doa malam ibu
yang ditanam ayah
di tanah kelahiran

maka ia pun jadi bernama:
usia sepokok kayu
yang pernah tunas

ia, yang kukira bertapa
terbujuk mengelupasi kulitnya
membuka kedok sekomplotan rayap
yang menggerogoti
usia pohon besaran liar
dalam tubuhnya

Mataram, 10 November 2009


Cukup

kau cukup mencintaiku jika punya waktu:
cukup ada dan memberiku waktu
cukup disitu sebelum waktu membiarkanku
cukup kubiarkan waktumu membiarkanku

setelah itu:
senja cukup gerimis, kecil-kecil saja
cukup di senja-senja kita
cukup semusim saja

Mataram, 7 Januari 2006


Selaput Malammu

Selaput malammu pecah
Aku mendengar rintihnya dari sini
Rindu yang terbuat dari hujan dan angin yang mendesis
Bertabrakan dalam lembab selimutmu
Darahnya ngalir
Membelah sungai baru dalam kamarku

Mataram, Agustus 2009


Bilang Saja Aku Temanmu

Bilang saja aku temanmu
Pada tali yang mencekik leherku
untuk mendapati jam minum kopiku
Tik tak di pagi hari, tik tak

hingga soreku

Aih,
sungguh bebas sunyi yang satu ini
jadi bilang saja aku temanmu
pada tali yang mengikatmu
untuk mendengar bunyi ini: tik tak
selaju jantungmu sewaktu sunyi mulai
tik tak

8-28 Oktober 2008


Phoenix di Kepalamu


Ada burung phoenix di kepalamu
Terbang rendah
Membakar sayapnya di kepalaku

Pebruari 2008


Jalan Kamar, 2

Aku sediam kepompong menunggu sayap
Memilih saat yang tepat untuk terbang
Merendah, menyukai tempat hinggap

Pebruari 2008

Rabu, 11 Agustus 2010

Kiki Sulistyo


Lahir di Ampenan, Lombok Barat 16 Januari 1978. Menulis puisi, cerpen, naskah pertunjukan, esai dan reportase. Karya-karyanya tersiar di sejumlah media seperti Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Majalah Gong, Batam Pos, Analisa, Global, Pos Metro, Jambi Independent, Sijori Mandiri, Buletin Pawon, Lombok Post, Kilas, Majalah Risalah Seni, Buletin Sastragraha. Juga termaktub dalam antologi Simpang Lima (2009). Bergiat di Komunitas Akarpohon dan mengelola Jurnal Replika.
E-Mail : kiki_sulistyo@yahoo.com
HP: 0878 6585 7383

Puisinya antara lain :


Jalan Itu

jalan itu, tempat aku hindari keramaian
dan segarit sayap membuatnya lebih senyap
rambutmu berjatuhan di atas aspalnya
dan kupungut satu-satu seakan menemu
kata-kata yang lelah diburu

jalan itu, tempat aku hindari pertemuan
dan sepenggal ranting membuatnya lebih hening
namamu terpacak di tiap tiang
kubaca pelan-pelan seakan mengeja
rahasia yang tertimbun sekian lama

tiap aku mengunjunginya
jalan itu semakin panjang
dari sana aku berangkat sekalian pulang
aku pergi sekaligus kembali

jalan itu, tempat aku hindari ingatan
dan sebuah cinta membuatnya lebih baka

Mataram, 2009


Dalang Rus

aku menghormat setinggi itu
pada yang memahami rahasia bayang-bayang
menapak setindak demi setindak
tangga cahaya
hingga sampai pada hening
paling bening

dunia adalah sebuah rumah kecil
dengan lampu redup berkedip-kedip
dan aku ingin sekali berkemah di luarnya
melupakan kecemasan
dengan sisa-sisa nostalgia
menyala di kepala

tuan, dengan pakaian apa
mesti kumasuki ruang petang
dimana kelir membentang
dan tak ada apapun juga
kecuali wayang
kecuali bayang-bayang ?

aku menghormat setinggi itu
pada yang memahami rahasia bayang-bayang
sebab setelah semuanya
nyatalah
aku hanya pemburu makna
yang tak pernah sampai kemana-mana
semakin aku memburu
semakin aku debu

Mataram, Februari 2009


Gadis Pita Ungu

surat itu, katanya, tak bicara masa lalu
tato mawar pada punggungnya itu

kemarin tukang kayu telah melihatnya
dan hari ini seorang pastor
barangkali senja
telah meracun mata mereka
sehingga bertingkah seperti remaja

aku sendiri mengingatnya sebagai seseorang
yang sering berdansa di pertengahan malam
pada awal tahun
- tak memintanya, sedikitpun
menaruh surat di laci kelas

entah besok, siapa lagi akan melihatnya
seraya berdoa dalam gemetar
mungkin pak guru
yang pernah mengusirnya karena heran
kegemarannya menangkap belalang

surat itu, katanya, pengakuan singkat
sebelum bunuh diri, sebelum sebuah jerat

aku berusaha mencium pipinya, ketika itu


Berlayar

akan berlayar kemana cahaya yang menyerta
jalan kita?

ketapang gugur daun di malam terkelam
pungguk memandang hampa
bundar bulan

aku terpanah
seperti juga kau
dan busur itu masih bergetar
saat darahmu membasah tanah
dan tubuhku rebah di lembah

aku dengar lolongmu
seperti kau dengar jeritku
saat pungguk terbang
dan bulan bundar
terbungkus selimut arang

sesungguhnya, saat gelap berlayar
telah kusebut namamu
seperti kau sebut namaku

2009



Sayap Kaca
bagi Desi Citra Nirmala

serupa kristal pagi
terbaring di kuntum melati
kutemukan rahasia pertapa
saat tubuh dijerat rimbun belukar

setiap saat kutemui taman liar itu
bersandar di gelap batu
seperti beribadah pada kesabaran
menjangkau firdaus di langit terjauh

dan kupilih waktu-waktuku sebagai pertapa
menghindar dari keramaian
bersila dalam sasmita menemu paripurna
manakala sayap-sayap kaca

memecah di udara

2009

Resital Burung

mulanya dua ekor burung
hinggap di tanah yang murung
sebelum reda suara-suara
dan butir kusam bergulung di udara

lalu kosong, seperti rasa
pagi kadang membuat perangkapnya sendiri
di hadapan kaca, di hadapan mata
dengan ingatan akan surat-surat lama

jalan baru di depan pagar
seseorang melintas di sana dengan sepeda
terus menerus melambai, gaunnya berkibar
senyumnya sehangat roti bakar

dua ekor burung kehilangan langitnya
di tanah yang murung,
aku kehilangan ingatan tentang seluruh kejadian

kecuali tentang seseorang bersepeda
di jalan baru
kecuali tentangmu

Mataram, 2009


Melankolia Pagi

ada kesenangan yang ganjil
melihat lipatan-lipatan pada sprei
sepasang sandal di depan pintu
dan lampu beranda yang lupa dimatikan

pagi, aku berharap masih ada sisa bulan
sebelum aku memilih berjalan ke barat
dengan sangat lambat
melewati taman kota yang tak pernah usai
menyusun kemurungan

aku menunggu, terus menunggu
aku bergelung memeluk kehampaan
membayangkan apapun yang tak pernah
singgah di pikiranmu

dengan sederhana
semua kenangan kusimpan dalam saku
pagi yang sendu menjadi kawan yang cepat karib
tanpa berita kehilangan

dan tak pula pesan-pesan tiba
kubiarkan pintu terbuka
kubiarkan lampu beranda menyala
tak kurapikan sisa-sisa nostalgia

sepanjang trotoar berkabut
langkah-langkahku semakin lambat
semakin lambat…..

2009


Kontemplasi Kamar

kecup mataku dengan matamu yang pelan-pelan mengabu
di kamar ini aku tak tahu
siapa membunuh siapa
kau lihat almari telah kosong dari pakaian
dan kenangan
sedang semakin sesak dada ketika tak ada
antara kita hendak melupa dusta

2009