Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Nusa Tenggara Barat. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Minggu, 31 Juli 2011

Effendi Danata


Lahir di Bima, 1985. Kemudian dibesarkan di sebuah perkampungan pantai, desa Hu’u, Dompu. Tulisannya berupa puisi dan esai pernah dimuat Majalah Ekspresi, Majalah Sabili, Pawon, Jurnal Replika, Koran Kampung, Koran Corong Rakyat, dan salah satu puisinya terpilih dalam 100 puisi terbaik bertema Ibu Se-Indonesia (Sastra Welang Publisher, Bali), serta masuk dalam buku antologi puisi Pertemuan Penyair Nusantara ke- V di Palembang berjudul “Akulah Musi”. Selain tergabung dalam antologi puisi komunal Lampu Sudah Padam, juga dimuat di beberapa media cyber seperti: sastra-indonesia.com, situseni.com, penyairlombok.blogspot.com, dll.
Sekarang tinggal di Lendek, Setanggor, Lombok Timur, NTB sembari membina teater dan mengelola Komunitas Rumah Sungai serta mengembangkan Lembaga Penelitian Alfikru Global Institut NTB dan Lembaga pendidikan Bonsai Lotim



Aku Lupa Menulis Puisi

aku tidak menulis puisi selepas kau menuju pulau seberang
dua puluh lima tahun, terlalu lampau menjejak gurat senyummu,
kesiur gerai rambut, serta aroma yang begitu mawar di hati.
aku tidak mengingat apa-apa ombak menggulung di pantai Lakey.
kecuali kita menukar kenangan yang mengeras di bibir air
perbincangan yang kita tukar di tepi dermaga,
mengingatkanku pada hurup-hurup yang membentuk nama kita.
aku membacanya serupa mengeja matamu yang tak lagi berair.
dan setelah itu, kudengar suaramu melambai-lambai.
sebuah jarak telah kau tempuh.

Lombok, 28 November 2010


Catatan Dari Ibu

matamu yang ranggas itu adalah mata sunyi
mata yang memuncak semalaman
menusuk segudang risau.
aku ingin luruh sekalian jadi pecahan kaca, lalu bisu
lirihmu tentang ayah,
yang kerap mencari surga di luar pintu

tak perlu kau tayangkan luka itu, ibu
aku telah menontonnya bertahun-tahun
telah kugenggam. layaknya jantungku yang mengeras
aku pun ingin mengirim daun hatimu yang melambai
dan luruh itu, sambil memaketkan
sebuah memo kecil kepada ayah:
gerak hati perempuan mesti kau baca
sebab di situ, rahasia rusukmu disimpan rapi.

Lombok, 30 November 2010


Aku Melihatmu Di Pintu Kenangan

hidup adalah ruang pementasan, laksana lollipop di mulut anak-anak
atau bisa jadi remah yang tersendat di mulut selokan,
setiap adegan seringkali cepat berubah. kau katakan itu
menjelang seekor kupu-kupu hinggap di daun pakis.
tentu kau lebih paham, itu bukan sekadar kelakar
di hari akhir saat kita bekejar-kejaran di tebing sungai.
terkadang masak kanak-kanak itu datang kepadaku
menyekap matamu yang meminang sukacita
ada air yang berurai menggurat jatuh ke lesung pipitmu.
sekarang kaukah itu, Anggraida
berbaju putih, gurat gincu dengan bibir yang manja
sementara kau menangisi kebencian sepanjang pintu-pintu kenangan

Lombok, 03 Desember 2010


Bila Kau Kutemui Bukan Dari Puisi

heningkan setengah detik saja. debu yang hinggap
pada jalan yang kita tempuh telah mengeras jadi tanah,
jadi rerumput, jadi pepohon atau jadi apa saja
yang membuat hati kita lebih bunga dari yang bunga.
begitu yang kubaca dalam surat yang kau kirim
bersama rentetan hujan di suatu sore.
maka kucari-cari dirimu dalam puisi-puisi
aku rindu rembulan yang jatuh ke matamu. yang memahami
betapa perpisahan melukai segala keteduhan.
dan bila kutemui kau bukan dari puisi, barangkali di sebuah
halte menuju hati yang lain. jangan katakan kecewa pada siapapun
agar puisi yang kita bangun, mampu menyelami
rindu di segala tubuh kita.

Lombok, 08 Desember 2010


Empat Puluh Delapan Purnama

bulan yang paruh mengambang. seorang bocah
mencium kening ibunya.
wangi bunga kamboja di pekuburan umum
meresap ke dalam rongga dadanya.
“aku ingin bermain bersama ibu” tangisnya
air matanya jatuh ke dalam gelas, yang menayangkan
rumah yang lain bagi ibunya setiap kali jam berbunyi
“tapi kau janganlah nakal”
suara ibunya seolah kecipak daun
yang jatuh ke sungai.

bulan yang paruh telah jadi purnama yang utuh
empat puluh delapan purnama, seorang anak
tengah mempersembahkan bunga yang rekah
memanjat doa, diantara kedua tangannya,
di antara bebatuan yang selalu berhadapan.

Lombok, 14 desember 2010

Minggu, 17 April 2011

Amril Ayuni


Lahir di Desa Solong Montong Gading Lotim pada tanggal 22 September 1993. Puisi hanya sebagai hobi, beberapa kali menulis puisi dari cerita hidupnya, pengalaman dan semua perasaan. Saat ini sedang kuliah di STKIP Hamzanwadi Selong. Tinggal di Montong Gading. Sekarang bermukim di Pancor Lotim.

Jalan Pulang

Seperti biasa jalan ini berduri
Menembus segenap penjuru hati
Seperti dedaunan kerap menyapa
Dan kemudian memberikan butiran embun
Tepat mengenai ujung rambut

Aku mengenangnya sepanjang jalan
Belaian mesra serta tutur lembutnya
Cerita manis dan ciuman hangatnya
Berikut petuah dan harapan-harapannya

Aku rindu kamu Ibu
Sambut aku

Montong Gading, Februari, 2011


Seperti Katamu
Aku sempat melayang
Bimbang dalam senyum tak pasti
Mengurai semua kisah dengannya
Namun aku akan kembali
Seperti katamu

Aku pernah meninggalkan semua
Membelai malam dan bintang
Merajut mimpi bersama angin
Tapi pasti aku akan kembali
Seperti katamu

Seperti racun
Kau mengalir, mengalir, dan mengalir
Dan terhembus di setiap hela nafasku

Pancor, 2010


Kutulis Sebuah Sajak
Aku duduk dalam hening
Channel TV tak lagi menarik bagiku
Bahkan enggan untuk sekedar membaca koran pagi ini

Teh di atas meja tak jua kuminum
Beberapa panggilan di telepon genggamku terabaikan
Bahkan enggan untuk sekedar menikmati kicau burung

Hanya angan, dan tangan bergerak melalui pena
Selembar kertas kosong yang lusuh
Ku tulis sajak tentangmu, tentang harapan

Tentang kita diguyur hujan
Tentang kita merangkai mimpi
Dan tentang kita yang terbalut dosa

Selong, 2011


Malam Pertama
Kuinginkan puisimu tentangku
Memuji helai rambut dan ujung kuku ku
Menggambarkan hidungku yang sedikit mancung
Atau tentang bibirku yang menurutmu menarik

Kurindukan sajak dalam bait-baitmu
Tentang segala yang ada padaku
Bagaimana caraku berjalan, berfikir dan tertidur
Semua tergambar jelas di puisimu
Karena hanya engkau yang peduli akan ku

Entah kenapa aku rindu puisi-puisi mu
Saat malam seperti ini
Bersama lelaki yang tak ku tau hatinya
Dan tak pernah ingin hidup bersamanya

Pancor, Januari 2011

Kamis, 10 Februari 2011

RIFAT KHAN



Lahir di Pancor tanggal 24 April 1985. Aktif menulis sejak duduk di kelas 1 SMP.Banyak sekali karya yang sudah dibuat, seperti kumpulan puisi, cerpen. pernah juga puisinya dimuat di Buletin Lokal Embun. Email : rifat8524@yahoo.com. Tempat tinggal sekarang di Pancor Lombok Timur.



Delapan Oktober di Pagi Beku


Wajahmu bisu adikku
penuh dengan tanya
aku bukan sesiapa malam ini
mungkin sebagai yang asing bagimu
coba mengurai dan mengingat
Delapan Oktober aku menemukanmu
terjatuh....
penuh sayatan luka
tapi kini sedikit aku tak memahamimu
bukan karena wajahmu berubah
atau rambutmu bertambah panjang
tapi karena hatimu telah pergi

Selong, 2011


Siang Akhir Desember


: balasan puisi Fatih Kudus jaelani
: Kulanjutkan untuk Amril Ayuni

Siang bisa mendung
tatkala sang perempuan yang dinanti
keluar dengan rambut terurai rapi
dan dengan senyum mekar berseri

sebungkus nasi hanya pelepas rindu
yang akhirnya ku buang jauh ke dasar laut
disaat perjalanan kerumahmu begitu membingungkan
aku hanya bersandar pada satu keyakinan

seperti pagi yang bisa menduga
aku bukan santapannya siang ini
meninggalkan kewajibanku hanya untuknya
yang akhirnya terbuang dengan percuma

aku yakin, ini saatnya melepas
walau air mata habis terkuras__
A_A


Selong, 2010


Telur Pecah

biarlah nafas terlepas
bukankah kematian adalah hal biasa
aku bukan Tuhan yang bisa abadi
aku bukan malam yg selalu menaungi

keindahan bukan hanya dibumi
aku ingin terlepas seperti hembusan angin
mengalir di sungai amazone, terhempas di padang gurun afrika
yang kubutuh saat ini adalah dia
dia sang pemberi semangat dan penyandar lelah

tapi dimana ?? entah dimana ??
harus cari di mana dia yang telah membawa semua
menyisakan kebimbangan
ah, biar saja terlepas, aku tak peduli

ku tulis disaat sepi dan raga serasa tak berarti
A_A

Selong, 2010


Malam Jum'at di Bawah Pohon Mangga

(di Rumah Pak Syaiful)

duduk di tengah-tengah bidadari dan malaikat.....
aku tersentak mati lampu, tapi wajahnya begitu terang bersinar
ada duka disini di dalam keremangan
ada suka terpancar disertai desiran air masuk ke tubuhku
aku bukan nabi yang bisa bersabar sepenuhnya

damai itu abadi seperti air yang mengalir menuju puncak surga
malam jumat, terasa seperti malam lainnya
bukan karena sang malaikat selalu memberikan canda
dan bukan karena senyum manis bidadari
ah,, aku mencoba berdiri memandang liukan bintang

Cinta itu absrak, tidak memandang status, aku tegaskan

masih ada keindahan di sisi ku masih ada kelemahan dihatiku
tergetar saja disaat sang bapak mengetuk pintu hati untuk berlabuh
aku diam, tapi senyumnya manis menurut kawanku Kudus Jaelani
biarlah aku terlelap malam ini melihat lukisan indah dikamarku
lukisan bidadari dengan sejuta makna dan seribu misterinya

Pancor, 2010


Last Day On December

kicau burung berubah merdu
desir angin menyapa lembut
belaian senja begitu indah
tahun segera berganti, aku tegaskan

nyanyian dedaunan merepih mesra
bisikan surya menenangkan hati
sekali lagi aku tegaskan, tahun segera berganti

uraian senyum mu kian tergambar
disela-sela dinding kelam kamarku
adakah engkau yang senantiasa menemani
membelai tidur dan membangunkan pagiku
di tahun yang akan berganti

semoga, ucap itu bergumam dihati
semoga, kian bergumam begitu keras
datanglah dan hiasi hidupku sampai mati

Selong, 2010

Yusran Hadi


Yusran Hadi lahir di Tebaban, Lombok Timur 3 Maret 1981. Alumni FKIP Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Mataram. Menulis puisi dan naskah lakon yang beberapa di antaranya termuat dalam bunga rampai Panggung Zaman (Taman Budaya NTB, 2008) dan Simpang Lima (2009). Sehari-hari bekerja sebagai pengajar di SMAN 1 Pemenang dan aktif di Komunitas Tepi Kali, Lombok Utara


Sesekali


sesekali, coba kau katakan
kemanakah cabang dan ranting-ranting ini mengantar kuncup dedaunan
apakah pada kehijauan yang halal bagi angin
ataukah jua padamu semuanya berpulang

sesekali, jangan diam
sebab kebisuan adalah kata-kata melarva
yang suatu saat siap menghisap aku
melepuhkanku dalam panasbaramu

semua telah berlalu, katamu
siapa yang sanggup mengembalikan bandul waktu, kataku
negara ini memang sudah kacau, kau tahu itu
alam tak jelas lagi musimnya, kau juga tahu
tapi sesekali jangan diam melulu
pintaku, sapa aku dengan kehijauan yang dulu
walau mungkin kini dedaunan itu telah kuning kering
mewarna hara

Pengasingan, 20 November 2010


Aku Masih Mencarimu

aku masih mencarimu
di tumpukan buku buku dimana namamu pernah kau catatkan
di kursi-kursi kosong perpustakaan dan rak-rak yang berbau kamper

aku masih mencarimu
di malam-malam panjang di dalam kendara para pemimpi
di galeri-galeri dimana segala pajangan
menyaksikan kita pernah bergandengan tangan

aku masih mencarimu
karena masih saja kurasakan
jari-jarimu yang kurus
tak henti membenahi urat hidupku

aku masih mencarimu
walau sesungguhnya kutahu kau ada dimana

28 Desember 2010


Tentang Waktu

Mengapa tak kau samakan jarum waktu di jammu
Hingga tik tok detik detik milikku dan milikmu tak lagi berseteru
Lama aku menunggumu di angka itu
Namun jarummu tak jua sampai

Detikku kah itu yang menerabas begitu tangkas
Hingga detakmu terasa tertelan pelan

Tapi nyatanya aku telah begitu lama menunggu
menangguk temu atas jarummu
gemetar jarumku sendiri mengekang diri
Rasa rasanya aku tak pernah lalai menghitung gerakmu
Apakah mungkin ada suatu keajaiban
yang membuat kau berlalu
dan terabaikan

Jadi beginilah kita
Tak jelas engkau kah leher atau aku kah kepala

12 Agustus 2010



Tentang Kebebasan Seekor Burung yang Membuat Malu Tuannya

selepas manakah dari waktu
telah membawa paruhmu berlari
sebagai burung, kau nyaris tak mengenal angin
sebab sayapmu tanpa tetumbuhan bulu-bulu

di keluasan macam apakah dari alam raya
mampu bercerita padamu
tentang hangatnya sarang dan musim kawin
padahal hampir pasti
sangkarmu sepi tak bercelah, tak berbirahi

aku termangu-mangu
mengenangkan paruh-paruh bodohmu
kini tak henti mematuk-matuki kepalaku yang tolol
sementara jari-jariku yang kelewat malu
tak henti bertanya
di manakah akan disembunyikan
patahan-patahan jeruji ini
yang dulu begitu liat membuimu

Tanjung, 28 Januari 2010

Minggu, 02 Januari 2011

Fatih kudus jaelani



lahir 31 agustus 1989. aktif menulis di komunitas rumah sungai lombok timur NTB. bersama kawan-kawan sedarah sastra berniat menjadikan lombok timur sebagai kantong sastra NTB ke depan. beberapa karyanya di muat di beberapa media lokal. dan diterbitkan dalam buku antologi puisi bersama "Lampu Sudah Padam" (KRS,2010). sekarang sebagai redaktur buletin embun komunitas rumah sungai. Kini bermukim di selong Lombok Timur, NTB. HP : 081917117000 Email : lamunanbatu@gmail.com

TEMPAT

Di manapun, selalu hanya waktu yang menguraimu
Karena engkau adalah muara kenangan
Kapanpun, Selalu saja engkau mempunyai nama
Entah dari indah atau kau terasing dari yang sudi menjamahmu

Aku mencarimu
Yang elok diciptakannya bentuk tubuhmu
Yang engkau diciptakan untuk suatu arti pembalasan penciptamu
Dan yang aku ingin berada di antara engkau,
dan saudaramu yang mengandung berbagai macam bentuk api
Walau benarkah engkau benar-benar ada nantinya
Aku tak peduli
: surga

Banjar Kemuning, 2010


Sepatu Lusuh

Walau hujan dicuri sekian rindu
Jejak langit yang mendung begitu akan enggan mempertemukan kita
Kau meludahi kembali sepatu lusuh itu
Mengenang perjalanan yang kau sesali beberapa Minggu

Sesekali kau mencari cermin
sebuah kamera di kantong baju lusuhmu
hilang dengan seolah dendam
selalu akan dikenang

Sepatu tua itu akan mengkilat
Hanya dengan kita bisa bertemu.

Banjar Kemuning, 2010


BERTEDUH

: Rona Rushofah

Dedaunan kerap kali menyisakan hujan perjalanan
Membuat langkahku tak berhenti
Di manapun pepohonan merayu
Untuk berteduh,
Dan kita terpisah begitu lama.

Banjar Kemuning, 2010


BERTEDUH 2

: Rona Rushofah

Aku menyukai tetesan hujan
Seperti memandang kedua bola matamu tersenyum
: mengingatku
Dan aku membenci sore ini
Seperti kau yang tak bisa hadir
menunggunya reda.

Banjar Kemuning, 2010


BERTEDUH 3

: Rona Rushofah

Kubiarkan sisa-sisa hujan menggenangi halaman rumahku
Sembari memikirkan betapa hilangnya dingin tubuh
Jika kau tak secepat itu membuat patung yang terluka
Berwajah sendu
Melihat sisa-sisa hujan dibeku waktu.

Banjar Kemuning, 2010


SETELAH KEPULANGAN INI

Setelah kepulangan ini
Aku akan belajar untuk melupakan pertigaan di hatimu
Jalan yang sempit dan sulit dimengerti.
berduri-duri
Bergerumuh
memekak bagian dari alat penangkap suara di sebuah hati.

dan setelah kepulangan ini
aku akan melanjutkan semedi sunyi
sebagai pembunuhan berantai
untuk si bodoh di antara kebingungannya saat ini.

Selong, 2010

Sabtu, 18 Desember 2010

Imam Safwan


Lahir di Pemenang, Lombok Utara 12 April 1978. Menyelesaikan studi di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Mataram. Selain menulis puisi dan naskah drama juga aktif sebagai aktor, sutradara dan pendiri Teater NoL ( North Of Lombok ), juga gemar menyanyi, membuat film dan dikenal luas sebagai pakar bonsai. Karyanya termaktub dalam antologi Panggung Zaman ( Taman Budaya NTB, 2008 ) dan Simpang Lima ( 2009). Sehari-hari bekerja sebagai pengajar.


Kumbang Tak Bersayap

Kau
Tebarkan potongan bunga mawar
Pada kumbang tak bersayap

Ketika embun meniti rumputan
Kau berdiri
bagai matahari
Entahlah
Embun tak kuat mendekap

Mataram, 12 April 2005


Cinta Kilatan Neraka

Terkulai aku
di antara kelangkanganmu
Mengayuh limbah keringat
menjadi madu rindu
dan aku terkekang .

Ku cium aroma tubuhmu
Bersama merebut surga
Di ujung kilatan neraka

Di tubuhku
kau ingin berdayung

Samudra kita gelombang magma
Yang meletup tiap jengkalnya
Karna cinta dan nafsu
Membatu dan
Di ujung kilatan kita bercinta

Tanjung, 12 Mei 2005


Rindu Bayang

Apakah salah jika ku rindukan bayang
mengumpulkan tetes-tetes embun
menjadi seteguk minuman

Sudah ku baca esokku
akan lelah mencumbu
Ku coba bentangkan tangan
pada bukit yang tinggi
terlena oleh angin
O,
Merayap gemetarku
Dituding cakrawala.

Rabu,11 Mei 2005


Dari Film Titanic

Ros menangis
melepas tangan Jack
malam itu.

Dengan wajah es
Jack meminjam mulut laut :
Aku tidak sendiri
kapal Titanic bersamaku
berikut nahkoda dan sebagian besar penumpangnya ,
jangan khawatir
aku sudah membawa lukisan
dan hatimu untuk ku ajak bicara.

Kota-kota menjadi hitam putih,
kadang hilang kadang muncul ,
tak mampu mengikuti matahari
yang terlalu tergesa-gesa,

dengan meminjam mulut laut Jack bicara:
aku akan kembali
menjadi sesuatu yang berarti
membuatmu lupa dan terlena
tapi disitu aku ada.

dilari matahari
di sebuah restoran sea food
Ros yang berkalungkan mutiara
bercengkrama bersama Jack
tesenyum dan tertawa

dengan meminjam mulut kerang dan ikan Jack bicara:
ini bentuk cinta ku yang abadi.

Tanjung,11 Desember 2005.

Minggu, 31 Oktober 2010

Tjak S. Parlan


Lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Alumni Jurusan Ilmu Administrasi Universitas Muhammadiyah, Mataram. Menulis puisi, cerpen dan resensi di sejumlah media cetak lokal, juga dalam antologi komunal seperti Tonggak ( Taman Budaya NTB, 2005 ) dan Simpang Lima ( 2009 ). Bersama seorang teman menulis kumpulan cerpen Ajarkan aku mencintai dengan tangan ( Lontar Kata, 2001 ). Sehari-hari bekerja sebagai perajin tata letak dan anggota dewan redaksi jurnal Replika. Hingga kini, betah menetap di Mataram, NTB.

Sejarah Rindu dan Api

sebab ada malam
bintangbintang ditaburkan
dan kunangkunang dihidupkan

sebab ada dingin
tungkutungku dinyalakan
dan api memberkati cahaya

sebab ada rindu
maka bintangbintang
dan kunangkunang
menetaskan roman dalam buku

sebab yang gelap rindu api
yang terang rindu remang
yang rindu ingin bertemu
maka api segera membakar tubuhmu

Mataram, 2009


Ia, yang kukira bertapa

ia, yang kukira bertapa
berayun cangkul dari tangannya
sekuakan bagi benih yang terpilih
dari doa malam ibu
yang ditanam ayah
di tanah kelahiran

maka ia pun jadi bernama:
usia sepokok kayu
yang pernah tunas

ia, yang kukira bertapa
terbujuk mengelupasi kulitnya
membuka kedok sekomplotan rayap
yang menggerogoti
usia pohon besaran liar
dalam tubuhnya

Mataram, 10 November 2009


Cukup

kau cukup mencintaiku jika punya waktu:
cukup ada dan memberiku waktu
cukup disitu sebelum waktu membiarkanku
cukup kubiarkan waktumu membiarkanku

setelah itu:
senja cukup gerimis, kecil-kecil saja
cukup di senja-senja kita
cukup semusim saja

Mataram, 7 Januari 2006


Selaput Malammu

Selaput malammu pecah
Aku mendengar rintihnya dari sini
Rindu yang terbuat dari hujan dan angin yang mendesis
Bertabrakan dalam lembab selimutmu
Darahnya ngalir
Membelah sungai baru dalam kamarku

Mataram, Agustus 2009


Bilang Saja Aku Temanmu

Bilang saja aku temanmu
Pada tali yang mencekik leherku
untuk mendapati jam minum kopiku
Tik tak di pagi hari, tik tak

hingga soreku

Aih,
sungguh bebas sunyi yang satu ini
jadi bilang saja aku temanmu
pada tali yang mengikatmu
untuk mendengar bunyi ini: tik tak
selaju jantungmu sewaktu sunyi mulai
tik tak

8-28 Oktober 2008


Phoenix di Kepalamu


Ada burung phoenix di kepalamu
Terbang rendah
Membakar sayapnya di kepalaku

Pebruari 2008


Jalan Kamar, 2

Aku sediam kepompong menunggu sayap
Memilih saat yang tepat untuk terbang
Merendah, menyukai tempat hinggap

Pebruari 2008